Selain menghilangkan kepenatan anak anak kami selama satu bulan suntuk lantaran kesungguhan menghafal, sebenarnya rihlah di Ayatuna juga dalam rangka mentaati perintah Allah untuk keluar dari rutinitas lalu melakukan perjalanan dan mengamati. Kami berpijak pada QS. Al-Ankabut: 20 dalam hal ini.
قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ۚ ثُمَّ اللَّهُ يُنشِئُ النَّشْأَةَ الْآخِرَةَ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ.
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) pada ummatmu: berjalanlah di bumi Allah, kemudian amatilah bagaimana Allah memulai penciptaan dari ketiadaan (langit berlapis dan bumi seisinya). Kemudian Allah membangkitkan dan menciptakan penciptaan yang kedua (akherat: setelah kematian). Sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu.”
Secara komprehensif ayat ini menuntun kita bagaimana melakukan rihlah sejati. Yaitu rihlah tentang mengamati, mentafakkuri, meriset bagaimana Allah memulai semua penciptaan ini. Setelah itu kita akan sampai pada kesimpulan bahwa sebagaimana mudah bagi Allah mencipta semua dari kefanaan, mudah pula bagi Allah mencipta kehidupan akherat yang haqiqi dan abadi setelah fananya kembali semua makhluk. Sebagaimana yang Ia janjikan. Itulah falsafah rihlah sebenarnya. Perjalanan yang mengingatkan kita akan akhirat agar kita menyongsong dan banyak berbekal.
Salah satu alasan mengapa kami namai rihlah di Ayatuna dengan Rihlah Tadabburiyyah karena tujuan utama rihlah ini adalah hidup dan terbukanya hati karena mentadabburi ayat ayat Allah baik qauliyyah maupun kauniyyah. Sehingga kegiatan ini menjadi bermakna dan menggapai hikmah.
Menurut Syekh Sya’rawiy bahwa dengan hati (bashiirah) yang hidup dengan melihat ciptaanNya, kita dapat menyimpulkan kemaha besaran Allah. Kesimpulan itu lalu mengantarkan kita pada tunduknya (السمع والطاعة) kita pada syari’ahNya dan pada keikhlasan dalam hidup, yaitu menjelmakan tiap tarikan nafas, degupan jantung, detak nadi, ayunan langkah menjadi penghambaan kepada Allah SWT. Sebagaimana termaktub pada QS Al-Hajj: 46
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَتَكُونَ لَهُمْ قُلُوبٌ يَعْقِلُونَ بِهَا أَوْ آذَانٌ يَسْمَعُونَ بِهَا ۖ فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَٰكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.